Teknologi Hydroseeding: Solusi Hijau untuk Pemulihan Lingkungan

Teknologi hydroseeding efisien mempercepat revegetasi dan memperbaiki tanah untuk penanganan tanah longsor dan reklamasi lingkungan berkelanjutan.

Robi Deslia Waldi

2/26/20243 min read

Peningkatan aktivitas manusia, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan industri, telah menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan, terutama di daerah pegunungan dan perbukitan di Jawa. Salah satu dampak yang umum terjadi adalah terjadinya tanah longsor, yang mengakibatkan erosi tanah dan kehilangan vegetasi. Seringkali, penanganan tanah longsor melibatkan pembangunan tanggul penahan, tetapi untuk lahan dengan kemiringan rendah, pendekatan revegetasi bisa lebih efisien.

Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur di Indonesia meningkat pesat, sementara aktivitas penambangan terus berlanjut. Hal ini dapat mengubah kondisi lahan secara tidak langsung. Tanpa pengelolaan yang bijak, perubahan ini bisa berdampak negatif pada fungsi tanah suatu wilayah, menyebabkan kerusakan yang semakin serius seiring waktu.

Pemerintah Indonesia, sesuai dengan Undang-undang No 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, menegaskan pentingnya perlindungan terhadap sumber daya alam yang tak terbarukan, seperti tanah dan air. Tanah dan air rentan terhadap degradasi fungsi akibat penggunaan yang tidak tepat sesuai dengan peruntukannya dan posisi geografisnya. Oleh karena itu, konsep Konservasi Tanah dan Air diatur untuk melindungi, memulihkan, meningkatkan, dan memelihara kualitas tanah dan air.

Ada berbagai metode konservasi tanah dan air, termasuk metode vegetatif, teknik sipil dengan struktur konservasi, manajemen lingkungan, dan lainnya. Salah satu metode yang mudah diterapkan adalah metode vegetatif, terutama teknik revegetasi menggunakan hydroseeding.

Hydroseeding pertama kali diterapkan sekitar tahun 1950-an di Amerika. Seiring berjalannya waktu, teknologi ini berkembang pesat dan menyebar ke negara-negara lain seperti Inggris dan Australia pada tahun 1960-an. Pada awal tahun 1999, Indonesia juga mulai menerapkan hydroseeding, terutama dalam industri pertambangan. Kebutuhan akan penanganan cepat dengan tingkat keberhasilan tinggi dalam area tambang menjadi pemicu utama adopsi teknologi ini. Dengan demikian, kehadiran hydroseeding membawa angin segar dalam metode reklamasi, terutama di area tambang yang terkenal dengan tantangannya.

Hydroseeding adalah teknik revegetasi yang menggabungkan biji benih tanaman, serat, dan nutrisi yang diformulasikan khusus dalam sebuah tangki hydroseeding bersama dengan air. Metode ini melibatkan pencampuran air, benih, pupuk, mulsa, dan pembenah tanah dalam sebuah tangki khusus, yang kemudian disemprotkan pada permukaan tanah atau lereng menggunakan perangkat khusus bernama Hydroseeder. Ketika disemprotkan, campuran tersebut berfungsi sebagai lapisan dasar penyerap yang menjaga kelembaban dan mempercepat perkecambahan benih tanaman, sambil melindungi tanah dari erosi.

Meskipun hydroseeding umumnya disemprotkan dari kendaraan bertangki, namun metode ini sulit diterapkan pada kondisi lahan berupa tebingan karena keterbatasan mobilitas kendaraan. Untuk mengatasi hal ini, muncul metode Manual Hydroseeding. Metode ini melibatkan bawaan alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat campuran hydroseeding langsung di lapangan, dengan penyebaran campuran yang dilakukan secara manual oleh manusia. Meskipun lebih rumit, Manual Hydroseeding membuka peluang baru dalam penanganan lahan yang sulit dijangkau.

Pemilihan spesies tanaman yang tepat sangat penting untuk keberhasilan revegetasi menggunakan teknologi hydroseeding. Jenis tanaman penutup tanah (cover crop) yang digunakan dalam hydroseeding merupakan tanaman pionir. Tanaman pionir sering dipilih karena kemampuannya dalam memperbaiki kondisi tanah secara alami dan memberikan perlindungan terhadap erosi, tetapi juga memberikan nilai tambah estetika pada lingkungan sekitarnya. Beberapa jenis benih tanaman yang sering digunakan adalah rumput seperti bahia, rodhes, dan signal, serta tanaman legum cover crop (LCC) Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Mucuna bracteata, dan Crotolaria juncea. Selain itu, penggunaan mulsa seperti jerami, sekam padi, limbah kertas, dan serutan kayu telah terbukti efektif dalam meningkatkan stabilitas tanah, porositas, dan kandungan karbon organik.

Selain itu, peran penting juga dimiliki oleh pembenah tanah, baik organik maupun mineral. Kapur pertanian, fosfat alam, dan kompos telah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tanah, sementara pupuk organik dan kompos membantu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Namun, perlunya uji lebih lanjut terkait penggunaan pembenah tanah sintetis untuk memastikan dampaknya terhadap lingkungan tidak boleh diabaikan.

Dengan menggabungkan teknologi hydroseeding dengan bahan-bahan organik berkualitas, upaya pemulihan lingkungan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Langkah-langkah ini tidak hanya mendukung keberlanjutan ekosistem bumi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih hijau bagi generasi mendatang. Dengan semua potensi yang dimiliki, teknologi hydroseeding menjadi tonggak penting dalam upaya kita untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menciptakan dunia yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Sumber Bacaan:
Sunandar, A., dan Prananda, I.P. 2020. Penerapan teknologi hydroseeding dikombinasi dengan matras organik di lereng jalan bebas hambatan manado–bitung. Jurnal HPJI (Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia), Vol. 6 No. 2, Hal: 105-118. DOI: https://doi.org/10.26593/jh.v6i2.4054.105-118
Zairina, A., Sulastri, S., Sukarno, A., dan Widyastuti, D. 2022. Pertumbuhan rumput jepang (Zoysia japonica) pada berbagai tingkat kemiringan dengan aplikasi Hydroseeding. BIOSAINTROPIS (BIOSCIENCE-TROPIC). Volume 7, No: 2, Hal: 77 – 83. E-ISSN: 2460-9455 dan P-ISSN: 2338-2805. DOI: https://doi.org/10.33474/e-jbst.v7i2.477
[KemenPUPR] Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2018. Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil: Penerapan teknologi hydroseeding untuk pengendalian erosi permukaan lereng jalan. SE Menteri PUPR Nomor: 02/SE/M/2018, tanggal 26 Februari 2018.