Antidot Krisis Ekologi

Pertobatan ekologis mendorong perubahan paradigma dan tindakan konkret untuk menjaga kelestarian alam sebagai tanggung jawab bersama menuju masa depan yang lebih baik

Robi Deslia Waldi

2/22/20242 min read

Krisis ekologis telah menjadi tantangan mendesak yang membutuhkan perhatian semua pihak di masyarakat dewasa ini. Berbagai bencana alam seperti polusi, perubahan iklim, kekurangan air bersih, dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi isu yang mengancam kesejahteraan manusia dan keberlangsungan ekosistem. Semua ini merupakan akibat dari campur tangan manusia yang melihat alam hanya sebagai objek yang dapat dieksploitasi demi kepentingan manusia semata.

Dalam menghadapi krisis ekologis ini, diperlukan tindakan penyelamatan yang mendesak. Manusia harus mengubah cara pandangnya terhadap alam, beralih dari konsep antroposentrisme menjadi konsep ekosentrisme yang melihat alam sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik yang harus dilindungi. Konsep ini, seperti yang diusulkan dalam Ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus, bertujuan untuk mengubah perilaku manusia agar lebih peduli terhadap ekologi.

Salah satu kontributor utama dalam pemikiran tentang perlunya perlindungan alam adalah Jonathan Stone, seorang professor hukum dari Amerika. Melalui tulisannya yang kontroversial "Should Trees Have Standing", Stone memperjuangkan pemberian status hukum bagi makhluk non-human, seperti pohon-pohon, sebagai upaya melindungi alam dari eksploitasi manusia. Tulisannya, yang ditulis pada tahun 1970-an, tidak hanya menyoroti perlindungan lingkungan, tetapi juga mengkritik perilaku destruktif dan arogansi manusia terhadap alam. Diskusi ini telah menjadi penting dalam bidang etika lingkungan, termasuk di Indonesia, karena mencoba menanggapi gejala penghancuran lingkungan yang tidak diatur oleh standar normatif. Gagasan Stone ini menjadi bagian penting dalam studi etika lingkungan di seluruh dunia.

Namun, meskipun kesadaran akan pentingnya lingkungan semakin meningkat, manusia masih terjebak dalam pola pikir antroposentrik yang melihat alam hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini menyebabkan manusia melakukan eksploitasi dan merusak alam tanpa memikirkan konsekuensinya. Akibatnya, muncul berbagai bentuk dosa ekologis seperti keserakahan, ketidakpedulian, dan ketidakmauan untuk berbuat sesuatu.

Dari krisis ekologis yang dihadapi saat ini, dibutuhkan sebuah pertobatan, metanoia, yang mencakup perubahan radikal dalam cara berpikir, sikap moral, dan tindakan manusia terhadap alam. Pertobatan ekologis bukanlah sekadar penyesalan, tetapi sebuah panggilan untuk perubahan radikal dalam cara kita memandang dan berinteraksi dengan alam. Pergeseran dari paradigma antroposentris ke ekosentris menjadi kuncinya. Alam bukanlah sekadar objek untuk dimanfaatkan, melainkan entitas yang hidup dengan kita, membutuhkan perlindungan dan keseimbangan.

Eco-theology, atau teologi ekologis, memberikan landasan bagi pemahaman ini, menghubungkan hubungan intrinsik antara manusia, alam, dan Tuhan. Dari perspektif ini, kita dipanggil untuk bertindak adil terhadap alam, menghormati hak-haknya, dan berperilaku secara bertanggung jawab. Dengan sikap peduli dan empati, kita dapat membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan, memelihara nilai-nilai suci yang melekat padanya.

Tindakan konkret yang dapat dilakukan sebagai perwujudan dari pertobatan ekologis antara lain adalah merubah cara pandang terhadap alam secara radikal, melakukan gerakan minimalis dalam kehidupan sehari-hari, dan mengembangkan hubungan etis dengan lingkungan melalui tindakan empati dan kepedulian. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi tanggung jawab bersama semua manusia untuk menjaga kelestarian alam demi masa depan yang lebih baik. Dengan pertobatan yang tulus dan tindakan yang berani, kita dapat menjadi agen perubahan untuk masa depan yang lebih baik bagi bumi kita dan semua makhluk yang menghuninya.